Tradisi Menulis Bahasa Indonesia

Writing

Bahasa Indonesia: Sejak Indonesia Ada.

Dalam dunia kontemporer, bahasa Indonesia makin menemukan posisinya di antara bahasa bangsa-bangsa dunia. Di usianya yang relatif muda, sebagaimana usia negara bangsa Indonesia, bahasa Indonesia yang rapuh tapi juga penuh kekuatan menyatukan ratusan suku-suku bangsa Indonesia yang berserak di tujuh belas ribuan pulau di wilayah negara kepulauan Indonesia. Meski begitu tak pelak lagi, bahasa Indonesia juga penuh warna, dari berbagai dialek kesukuan, kata serapan bahasa-bahasa daerah dan terminologi penggunaan kata beragam makna. Anehnya, warna-warna itu tak mempengaruhi komunikasi yang terjalin. Bahasa Indonesia benar-benar menjalankan fungsinya sebagai identitas dan bahasa persatuan, wilayah komunikasi bersama beragam warna kesukuan yang cantik dan kaya nuansa.

Jika pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia gegap gempita dan hingar-bingar dengan semangat kemerdekaan dari penjajahan Belanda, maka pada masa di sekitar proklamasi Indonesia, bahasa Indonesia menjadi senjata ampuh perjuangan melawan penjajah Belanda yang ingin kembali setelah kekalahan Jepang pada akhir Perang Dunia II. Di masa pergerakan, bahasa Indonesia menjadi senjata tajam serangan kepada penjajah Belanda, mulai dari ruang-ruang diskusi mahasiswa dan pelajar, berita umum, pamflet, pidato-pidato, buku dan sastra.

Sastra Indonesia yang tentu saja didominasi penulis-penulis berbahasa Melayu (asal bahasa Indonesia), makin bergerak ke arah yang berbeda dari bahasa asalnya. Sastra Indonesia tampil gagah di awal kemerdekaan oleh karya-karya sastrawan muda yang garang dan penuh semangat. Tak akan orang melupakan penyair muda Chairil Anwar, dengan sajak-sajaknya yang penuh semangat dan melahirkan elan baru kesusastraan Indonesia, beranjak dari asyik masyuk sastra Melayu menjadi pernyataan bahasa dan individualisme yang kental.

Sastra menemukan tempatnya di sebuah bangsa yang baru saja diproklamirkan 17 Agustus 1945. Bahasa Indonesia tak sekadar pernyataan lepas atas penjajahan, tapi juga dengung semangat tuntutan atas hak hidup yang wajar, sebagai bangsa, dan manusia-manusia merdeka di dalamnya. Sastra tak lahir tiba-tiba, sastra entah itu yang disebut mengusung semangat individualis yang kebarat-baratan, ataukah yang mengklaim mengusung ide rakyat dan budaya nasion baru, tak jadi soal mestinya. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, telah terjadi polemik kebudayaan yang terkenal soal itu.

Berjarak dari masa itu, mengenang polemik kebudayaan, membaca-baca kembali sajak-sajak penuh elan Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, kita tak akan peduli lagi. “Semua mendapat tempat, semua harus dicatat”, meminjam deret kata Chairil. Sastra Indonesia adalah keindonesiaan kita, menjadi benteng nurani yang lembut tapi kokoh ketika bersentuhan dengan ideologi-ideologi dari luar Indonesia. Menyebut sastra realis tak sepatutnya langsung dihubungkan dengan ideologi kiri, misalnya. Dan karya sastra tak hendak menyatakan selalu sebagai perwakilan ideologi atau aliran tertentu. Karya sastra sebagaimana layaknya karya seni lainnya, dianggap berhasil hanya jika mampu mengungkapkan sesuatu dan dapat diterima khalayak pembacanya secara umum. Bahkan pembakaran buku-buku sastra dapat dianggap sebagai kekejaman yang bodoh selayaknya upaya sia-sia pemberangusan pikiran, sebagaimana pernah terjadi juga di belahan dunia lain di abad 20.

Sastra menjadi ungkapan keindahan dalam kata, menjadi pengaruh dan separuh nyawa karya-karya seni lain yang melibatkannya: drama teater, film atau lagu-lagu yang indah. Karya sastra juga punya perjalanan hidupnya sendiri seiring dengan kebangsaaan Indonesia. Ada di suatu masa, sajak-sajak pendek dengan pemilihan kata yang lugas dan rima yang ketat, berganti ke masa dimana, kata menjadi semakin cair atau bahkan gelap menyampaikan pengertian. Keindahan tak ditafsir melulu dengan kata yang merdeka, tapi juga bisa menjadi kegelapan dan kerumitan makna. Demikian pula terjadi di dunia cair prosa, novel dan buku-buku yang dianggap sebagai sastra. Dahulu pernah suatu masa, sebuah karya tak pantas digolongkan sebagai karya sastra jika tak diberi gelaran tersebut oleh sekelompok orang atau kritikus sastra tertentu. Tapi kini, sebuah novel misalnya, pop atau sastra tak penting lagi. Memang ada jenis-jenis karya yang ditulis dengan disiplin bahasa dan rasa yang kuat, sehingga layak dinilai sebagai karya sastra yang baik, tapi sebuah novel pop yang ditulis untuk membahagiakan pembacanya dan mampu menyampaikan kesan dan ide pada orang banyak, bukan lagi tak berhak mengklaim dirinya sebagai bagian dari sastra Indonesia.

Kekayaan sastra Indonesia adalah juga kekayaan khasanah budaya bangsa. Dulu pernah dinyatakan bahwa sastra Indonesia terancam karena penciptaan kelas rendah, pemiskinan bahasa karena penggunaan ungkapan dan gaya komunikasi pop yang klise dan terkesan murahan. Ancaman ini sering disebut sebut terkait dengan suasana politik dan kebatinan Indonesia selama masa kediktatoran Soeharto sejak 1966 sampai 1998. Tapi hal tersebut kini dianggap tak berkorelasi dengan kualitas dan kuantitas penciptaan. Era tersebut tak menahan kelahiran karya-karya monumental yang berkualitas tinggi dan suasana penciptaan yang terus terjaga. Sastra yang membebaskan tak hendak hanya menyatakan diri sebagai alat pihak yang perlu dibebaskan dari belenggu penindasan atau kediktatoran. Tak ada yang perlu dibebaskan jika pikiran merdeka selalu bisa terjaga. Karya-karya sastra terus saja tercipta tanpa berusaha dimaknai sebagai satu-satunya jalan pembebasan. Tak akan pula sebuah karya sastra melenggang tanpa makna tersebut, hanya mendedahkan satu-satunya sumber inspirasi pada suasana politik dan kebangsaan: sepertinya berlebihan.

Menulis Sastra
OpenBookSastra dan karya-karya turunannya berkembang dari kekuatan menulis. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, jika sumbernya abadi, karya yang tercipta akan serta merta memiliki kehidupannya sendiri ketika lahir, dan abadi meninggalkan penciptanya yang fana. Suku bangsa di Nusantara sebenarnya memiliki tradisi bertutur lisan yang jauh lebih kuat daripada menulis. Tradisi bertutur lisan menjaga warisan-warisan rahasia kekayaan Nusantara. Cerita rakyat, fabel, dongeng dan aneka kisah mitologi dibawa dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi bertutur lisan. Sastra lisan memiliki kualitasnya sendiri, dan telah menjelma dan menginspirasi bentuk-bentuk karya seni yang lain: teater, film dan media kontemporer lainnya.

Kekuatan bertutur itu banyak terlihat dari dunia prosa, dengan tonggak-tonggak karya sastra monumental seperti pada Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer yang tersohor itu, novel degan latar sejarah lain seperti pada Para Priyayi Umar Kayam atau Burung-burung Manyar YB. Mangunwijaya. Kekuatan bertutur dengan mengutamakan bahasa Indonesia, menjadi lentur, lembut, penuh nuansa dan cara berkisah roman yang luar biasa, sangat pantas disandingkan dengan Doctor Zhivago Pasternak atau karya avant garde Kazuo Ishiguro, Remains of The Day yang berhasil juga ketika diangkat ke film layar lebarnya dan dibintangi Anthony Hopkins. Hampir semua novel tersebut telah diangkat ke layar lebar dan menghasilkan apresiasi khalayak dan penghargaan pada festival film.

Menulis mungkin masih mengambil peran dalam penyampaian panjang kisah-kisah dari tradisi bertutur, tapi literasi bahasa Indonesia, masih jauh dari pembangkitan tradisi menulis yang kuat. Dari dunia umum, dunia akademis bahkan sampai dunia ketat hukum dan dunia riuh rendah politik, menulis masih belum menjadi tradisi yang berdisiplin dalam bahasa. Kemiskinan bahasa menjadi efek yang tak terhindarkan ketika sastra makin tak terlibat. Bahasa tanpa rasa, menjadi semakin liar ketika serapan istilah-istilah dari bahasa asing tak dibarengi dengan disiplin pemilahan makna yang biasa dipakai ketika menulis sastra. Padahal bahasa Indonesia punya kelebihan yang luar biasa dibanding bahasa-bahasa asing di luar Nusantara. Adalah jamak di bahasa-bahasa Nusantara, tak ditemukan konjugasi, di mana waktu dan jenis kelamin, misalnya, tak menjadi dasar pembentukan kata, dengan kata lain: diabaikan.

Tradisi menulis yang kurang berkembang adalah efek dari literasi bahasa yang rendah. Karya-karya fiksi dan non-fiksi jika digabungkan pun masih kurang dari jumlah produksi yang diharapkan pada 260 juta lebih anak bangsa Indonesia. Produksi tahunan judul buku kita masih sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga yang kebetulan adalah bekas jajahan Inggris. Padahal sebagian besar negara-negara jiran kita tersebut menulis dalam bahasa Inggris, yang notabene adalah bahasa kedua resmi yang digunakan dalam pergaulan resmi mereka. Tulisan ini tak hendak memaparkan data memprihatinkan tentang hal tersebut yang bisa diperoleh mudah secara umum dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Meski sastra kurang bernyawa lagi, tapi produksi karya-karya pop yang mudah dicerna, dibaca dan memenuhi rak-rak di toko-toko buku masih cukup melegakan. Tak perlu juga kita memilah lagi pop dan sastra tinggi. Bahwa ada sebuah karya tulis fiksi atau non-fiksi yang ditulis dengan disiplin bahasa yang ketat memang perlu diperhatikan, untuk tak juga mengabaikan penciptaan dengan gaya lain: mengabaikan disiplin bahasa yang wajar.

Kewajaran bertutur dalam tulisan, sayangnya kemudian juga diserang. Generasi muda (sebutlah, generasi X, Y, Z) milenial, menjauh dari bahasa Indonesia yang wajar. Kemudian menciptakan gaya bahasanya sendiri, dimana serapan dari bahasa asing pun diucapkan berbeda dan diberi makna yang berbeda pula. Alih-alih mengembangkan kemampuan bertutur yang lancar dalam bahasa asing, yang nampak lebih terlihat adalah memelintir makna bahasa aslinya ke dalam bahasa Indonesia yang cara yang liar dan terkesan ngawur. Pada saat inilah, bahasa Indonesia mulai terdegradasi sebagai cara bertutur yang wajar dan umum. Meski begitu, gejala ini hanya terjadi di sebagian Jakarta dan kota-kota besar lain yang mengekor cara sebagian gaya pop baru Jakarta tersebut.

Tradisi berbahasa yang baik, juga mendapat hantaman dari bentuk-bentuk komunikasi baru dari teknologi-teknologi kontemporer yang tak terhindarkan. Teknologi barangkali membawa perubahan pada kenyamanan dan kecepatan menyampaikan sesuatu melalui bahasa, tapi gejala yang jelas terlihat adalah: mereduksi cara kita berbahasa dan sayangnya juga kebahagiaan dalam bentuknya yang dalam. Sebagai contoh: mengirimkan surat yang dulu memerlukan waktu bagi penulis dan pengirimnya, umumnya membawa efek gembira atau bahkan bahagia bagi penerimanya. Cinta dan kasih sayang atau bahkan kebencian, tersampaikan nyaris sempurna pada penerima surat. Surat menjadi media dalam bentuk tulisan dimana isi hati disampaikan melalui bahasa. Tak perlu menjadi jenius untuk menulis surat yang indah. Keindahan adalah tafsir, sehingga bahkan kata, ungkapan dan kalimat sederhana mampu dibangkitkan dengan sepenggal surat. Istilah surat, sekarang lebih banyak dipakai untuk hal-hal resmi yang jauh dari urusan bahagia atau gembira: surat panggilan, surat tagihan, surat gadai, surat cerai, surat tanah dan seterusnya. 🙂

Teknologi mempercepat model-model penyampaian pesan. Pesan-pesan tersebut terkirim instan, serta merta masuk diterima dalam kotak penerimaan pesan maya. Segala yang instan memang hanya terjadi di dunia maya, teknologi yang mempercepatnya, sekaligus mereduksi maknanya, dari surat menjadi berita. Berita adalah bentuk penyampian pesan yang datar, dengan atau tanpa pretensi bagi pembacanya, karena penulisnya menyampaikannya dengan aksentuasi umum dan terbuka.

SocmedSastra sebaliknya, dahulu sastra menjadikan sebuah karya, menurut Emha Ainun Najib, digolongkan karya dengan aksentuasi personal, dimana sebuah sajak, puisi, novel atau hanya sebuah surat cinta, dibaca sendirian, diam-diam dan dalam sebuah kamar yang tertutup tanpa keriuhan orang lain diluar pembacanya. Atau sebuah karya yang diciptakan dengan aksentuasi publik, dimana sebuah sajak, cerpen (cerita pendek) atau surat cinta dibacakan pada banyak orang untuk menikmatinya. Terkadang dengan cara membaca yang dramatis dan menimbulkan efek tertentu pada publik atau massa yang menikmatinya bersama. Sajak-sajak aksentuasi personal mungkin didapati pada tonggak-tonggak sastra dan penyair-penyair seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad atau Soebagio Sastrowardoyo, sementara sajak-sajak dengan aksentuasi publik diwakili secara kuat oleh sajak-sajak indah WS. Rendra atau Emha Ainun Najib. Keindahan penikmatnya menjalar dengan cara yang berbeda. Di ruang hampa suasana massa atau di dalam nafas massa yang terbuka, keduanya memiliki kualitasnya sendiri, dan memperkaya khasanah tradisi penciptaan karya sastra.

Teknologi awalnya dan mestinya mestinya tak menjauhkan sastra dan publiknya atau sampai mendegradasi bahasa yang digunakan sebagai tubuh penyampai sebuah karya sastra. Tapi kenyataannya teknologilah yang merundung sebuah karya sastra menjadi bentuk-bentuk populer yang jauh dari kualitas kembang bahasa. Surat-surat cinta panjang berkesan beganti menjadi email pendek sebaris. Belumlah lagi menyebut ungkapan bentuk lain berupa pesan kata. Kecepatan adalah kuncinya, serta merta menjadi bentuk yang semakin wajar, tapi maknanya hilang di udara maya teknologi penyampainya. Teknologi di negara atau bangsa-bangsa lain mendorong tradisi literasi yang semakin kuat, dimana penciptaan karya tulis menemukan media baru yang dapat diandalkan selain buku kertas. Tapi di Indonesia dan mungkin banyak negara berkembang lain, menjadi momok utama pereduksi kualitas penciptaan karya tulis. Literasi bahasa yang belum tuntas menjadi lahan subur berkembangnya model-model komunikasi bahasa baru, seolah-olah hal tersebut diturunkan dari kebiasaan-kebiasaan wajar, padahal semakin menjauhkan bahasa Indonesia dari pengucapan atau cara bertutur yang baik, wajar dan beradab.

Sengkarut Bahasa dan Disrupsi Makna
Media sosial lahir menjadi pengganti utama media berita dan alat komunikasi massa yang kuat. Media sosial terutama menggunakan bahasa tulis yang singkat dan instan penyampaiannya, awalnya. Tetapi perkembangan cepat dekade terakhir terutama, membuat media sosial semakin kaya nuansa, dimana pesan tak lagi berbasis tulisan saja tetapi juga multimedia. Pesan-pesan tak lagi bersliweran di dunia maya dalam bentuk abstraksi pendek tapi, video-video yang durasinya semakin panjang dan tak berbatas waktu. Apa yang 50 tahun lalu hanya bisa disaksikan sebagai bagian dari film-film futuristik seperti Star Trek atau Star Wars, sekarang telah hadir di sekitar kita dan mengubah cara komunikasi manusia secara pribadi maupun umum.

Yang menggejala di Indonesia ternyata bukan bahasa yang menemukan media baru untuk tempat berkembang sebagai alat kemunikasi tapi bahasa menjadi terdegradasi dalam bentuk-bentuk komunikasi pesan singkat atau pesan multimedia yang miskin makna. Kemiskinan makna ini diukur dari isi pesan atau konten multimedia yang diproduksinya. Dalam dunia iklan komersial dan pergaulan anak muda, ini tak dianggap sebagai gejala negatif, tapi membuat kegandrungan pada segala yang instan semakin menjadi. Teknologi mengemasnya semakin menarik sehingga mampu mengubah cara berpikir umum mengintegrasikan dunia maya dan nyata. Ketika buku semakin mudah dan digital dalam kemasan, selanjutnya dibaca lebih mudah dimanapun tempatnya, di Indonesia masih tak memacu jumlah produksi judul buku yang terbit tiap tahun. Penerjemahan buku yang laris adalah penerjemahan karya-karya dari luar negeri dan memenuhi rak-rak buku di toko buku: digital atau non-digital.

LiteracyPerubahan ini juga menggejala misal dalam bahasa pergaulan di kota-kota Indonesia. Belajar bahasa Indonesia bagi orang asing, tak membuatnya mudah jika harus bersentuhan langsung dengan dunia nyata Indonesia yang penuh warna: dialek dan istilah serapan daerah atau slank pop kontemporer, sebutlah bahasa gaul. Fenomena bahasa gaul ini, menggejala seolah menjadi ungkapan baru gaya hendak mengglobal tapi tanpa dibarengi kemampuan memadai kecakapan bahasa asing yang sesungguhnya, atau sekedar snob atau flexing. Jika di Jakarta dari dulu sudah dikenal bahasa betawi dan bahasa prokem, maka sekarang juga muncul fenomena baru misal: bahasa jaksel. Jaksel adalah sebutan untuk wilayah daerah selatan dari Jakarta dimana pengucap bahasa jaksel tinggal. Tapi jika disindir atau diejek oleh orang yang tak mengenalnya, sering bahasa jaksel ternyata mendapatkan pembelanya adalah muda-mudi dan remaja dari berbagai daerah di luar Jakarta yang juga sudah terbiasa mengucapkan atau menggunakan kosakata jaksel dalam kesehariannya.

Bahasa prokem atau bahasa jaksel adalah langgam-langgam bahasa yang muncul dari pergaulan keseharian dalam ruang lingkup tertentu dan bersifat kontemporer. Suasana tersebut sayangnya tak mendorong kemajuan kecakapan bahasa yang sesungguhnya, baik pengayaan bahasa Indonesia sendiri maupun kecakapan individual bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris. Serapan terbanyak yang dibawa jelas dari bahasa Inggris tapi pengucapan dan pemaknaannya bisa sangat berbeda. Konteks yang dibawa kemudian diciptakan oleh pengucapnya berdasar apa yang mereka sepakati bersama sendiri. Jamak memang, memaknai sebuah kata berdasar atas apa yang disepakati bersama oleh para pengucapnya dalam kurun waktu tertentu.

Jika bahasa dan sastra mempengaruhi seni-seni kontenporer lainnya seperti musik dan film, maka demikian pula yang terjadi ketika warna-warna komunitas gaul merundung keindahan bahasa Indonesia. Lirik lagu-lagu kita bergerak seiring dengan gejala-gejala perubahan tersebut. Meski begitu, masih terlihat ada upaya keras dari para pencipta lagu, seniman musik dan komposer lagu yang menciptakan komposisi indah mengejar kesempurnaan perpaduan rasa, emosi dan keindahan kata menyampaikan kisah atau pesan di dalamnya. Sebagian besar, lirik-lirik lagu pop dari musik kontenporer Indonesia, terus berjaga setia dengan kata-kata sederhana yang diucap penuh makna dan pesan. Bahkan tak jarang pencipta lagu menulis liriknya dengan menggunakan ungkapan dan warna-warna daerah Indonesia yang kaya nuansa untuk memperkaya suasana batin dan pesan kisah yang dibawakannya: umumnya berhasil.

Lagu dengan gaya tersebut berhasil diterima masyarakat Indonesia yang majemuk dan dinyayikan penyanyi-penyanyi dengan latar budaya daerah yang berbeda dengan pencipta lagunya, tanpa harus mengurangi emosi setiap kata yang didendangkan. Sungguh mengharukan misalnya mendengarkan seorang penyanyi berasal dari suku Jawa yang kesehariannya berbahasa Jawa dan Indonesia, tapi menyanyikan lagu bernuansa Maluku, lengkap dengan kata-kata serapan dari Maluku atau cara berucap orang Maluku atas kata-kata tertentu dalam bahasa Indonesia. Lagu Enggo Lari atau Janji Putih dengan nuansa bahasa Indonesia berlogat Maluku, misalnya, dinyanyikan oleh berbagai penyanyi dari daerah lain Indonesia, tanpa mengurangi keindahan dan emosi pesan dalam lagunya.

Pun dari dunia Film, meski menangkap model-model bahasa gaul kontemporer Indonesia, tapi tetap berjaga dalam batas kewajaran penggunaan. Para sineas Indonesia sebenarnya bisa membuat apapun menjadi lebih liar dan eksperimental dengan bahasa, tapi nyawa film taklah harus menggunakan dan mengeksplorasi bahasa Indonesia sampai di luar batas kewajaran. Film-film layak diapresiasi yang diproduksi di Indonesia, lebih bisa diterima luas di Indonesia. Dan hebatnya pula masih berjaga setia pada bahasa Indonesia kontenporer yang digunakan secara wajar, mampu menyampaikan pesan, kesan dan nuansa keindahan tertentu yang ingin dicapai. Sineas Indonesia masih cukup disiplin memproduksi skenario-skenario berbahasa Indonesia dan mampu mengekplorasi bahasa dengan wajar. Judul-judul Film Indonesia terkini, justru lebih menarik daripada judul-judul misal dua dekade kebelakang, ketika produksi film kita menurun dan jatuh ke kualitas dan tema-tema komersial yang berlebihan.

Meneguhkan Rasa Percaya Diri

confidentBahasa Indonesia dengan kekuatan dan kelemahannya, sebenarnya masih penuh potensi yang bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Selain sebagai alat kemunikasi ucap, bahasa Indonesia mestinya lebih atau semakin dipercaya menyampaikan pesan dan pengertian. Saat ini, karya-karya tulis akademis sering terlalu berjibun istilah asing, yang menurut penulisnya kurang bisa disampaikan atau dicari padanan pengertiannya dalam bahasa Indonesia. Pada bidang-bidang tertentu penggunaan istilah-istilah asing memang tak terhindarkan, tapi mari kita coba lihat pada eksperimen yang berhasil misal pada penerjemahan istilah Automated Teller Machine menjadi Anjungan Tunai Mandiri, kesamaan singkatan ATM tapi diterjemahkan sungguh-sungguh tanpa mengurangi keindahan bunyinya. Istilah Online menjadi Daring, Cellphone menjadi ponsel secara resmi, tapi memang pada ponsel misalnya, dalam percakapan keseharian, nyaris tak pernah digunakan dibanding dalam berita atau penulisan. Yang jamak dipakai adalah hp atau ditulis hape singkatan dari handphone. Transliterasi tak sempurna inilah yang saat ini melahirkan bahasa jaksel dimana istilah asing terutama Inggris, bertaburan secara distruptif menggerus kecakapan bahasa Indonesia dan bentuk snob untuk menutupi kecakapan bahasa Ingrris yang sebenarnya mungkin tak lebih baik dari bahasa Indonesianya.

Bahasa tulisan relatif berbeda dari bahasa keseharian atau bahasa di ruang-ruang resmi publik. Bahasa tulisan mungkin paling bisa diharapkan tetap terus bisa berjaga atas disrupsi yang lebih mirip perundungan tanpa kesudahan atas bahasa Indonesia. Kita bisa kehilangan kemampuan kreatif penciptaan bukan terutama pada sastra tapi bahkan pada kata. Kata yang diucapkan, ditulis dan disebarkan penggunaannya dari hasil penggalian dan usaha tanpa lelah menemukan padanan yang paling menyampaikan makna. Bahasa tulisan adalah bahasa Indonesia yang digunakan pada pamflet, iklan tulis, skripsi, tesis, disertasi, makalah seminar, selebaran,  dan berbagai macam karya tulis lainnya, termasuk fiksi dan puisi.

Bahasa berkembang dan bertahan karena pengucap dan penggunanya. Diucapkan mulai dari ruang berpikir di kepala, di ruang tempat bahasa dibisikkan, atau disampaikan pada ruang-ruang pemberitaan resmi, di lapangan saat pidato-pidato menyihir massa disampaikan, sampai ruang-ruang digital dimana media-media sosial penuh dengan komentar dan bisingnya prosentase besar dari 260 juta lebih pengucap bahasa Indonesia, netizen yang penuh kuasa. Dapat dibayangkan pada kejadian, dimana seorang pesohor media sosial yang memiliki pengikut berjuta, bahkan lebih dari jumlah seluruh penduduk beberapa negara di eropa, dapat merundung selebritas lain yang dianggap melukai tokoh yang mereka ikuti. Netizen Indonesia terkenal paling cerewet di dunia, bising dan kejam tanpa ampun atas apapun yang mereka suka dan tak mereka suka. Demokrasi sesungguhnya dalam dunia digital yang di waktu lampau dibenci Sokrates, hadir pada fenomena netizen Indonesia. Meski cenderung dicap negatif tapi sebenarnya hal itu adalah peluang besar bahwa pengucap bahasa Indonesia punya potensi pengaruh besar atas pengucap bahasa lain. Pengucap bahasa Indonesia bisa memantapkan rasa percaya dirinya mengeksplorasi penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan global secara beradab dan terhormat. Ini tentu tak dibangun semalam, dan dengan modal ala kadarnya. Peradaban tak dibangun dan berakhir dalam berapa kejap. Jika saya pelesetkan sediikit satu kata maka menyitir sajak Goenawan Mohamad

Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku?

Tapi kita masih bisa mencipta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat

Share